24 April 2020

DIA MEMANG BUKAN PAHLAWAN SEPERTI YANG KITA INGINKAN


Tuan-tuan yang sangat terhormat dan mulia.
Saya hanya ingin bertanya saja. Perihal seputar Ayunda Kartini yang muncul di tahun ini, tahun lalu, tahun sebelumnya, juga tahun depan, dan tahun-tahun mendatang. Sesuatu yang akan berulang, dan itu lumrah serta biasa. Sementara pada saat yang sama kita juga memaklumi, bahwa kita tergolong kaum dengan ingatan sumbu pendek, meremehkan sejarah, mudah lupa, tidak suka membaca, sehingga selalu mengulang hal yang sama. Itu juga yang seringkali saya singgung di banyak kesempatan, menukil dari filosof Spanyol, George Santayana: “Siapa yang tidak mengingat masa lalu, akan dikutuk untuk mengulanginya”.Bisa dimaknai: siapa yang tidak mengetahui sejarah, akan mengulangi kesalahan yang sama.


Pertanyaan-pertanyaan saya ini bukan pertanyaan akhir, apalagi final. Justru ini baru pertanyaan awal untuk melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Tapi ini cukup panjang, meski tidak sepanjang tulisan-tulisan Kartini atau tidak sepanjang 100 tahun lebih sejak dia meninggalkan kita. Berikut pertanyaan-pertanyaannya:
1. Apakah menurut Tuan-tuan, Kartini –perempuan belia dan yang meninggal saat masih muda usia 25 tahun itu— bercita-cita atau berhasrat ingin diangkat dan dijadikan pahlawan? Atau setidaknya dia ingin mencitrakan dirinya sebagai orang terkenal dan ingin dianggap hebat?
2. Apakah karena dia “hanya” menulis surat untuk menyampaikan gagasannya guna menolak penindasan, bukan hanya atas nama perempuan tetapi juga atas nama kemanusiaan, kepentingan bangsa, juga kaum rakyat miskin-jelata yang justru memang diperlakukan tidak adil terutama oleh kalangan sendiri yang membanggakan keturunan dan keningratan itu, maka dia tidak layak untuk dihormati?
Bukankah sebuah karya tulisan –sama seperti warisan tulisan atau catatan atau kitab atau buku para pembaru, pemikir dan filosof dalam sejarah kapanpun dan dimana pun— adalah suatu hal yang bukan sia-sia tanpa arti dan makna? Apakah sebuah buku atau tulisan adalah sekadar kumpulan ide, khayalan tanpa basis fakta? Apakah kumpulan pemikiran itu tidak berpengaruh atas perubahan sejarah? Untuk apa Tuan-tuan membaca sebuah tulisan atau buku, baik karangan saat ini maupun buku-buku hikmah masa lalu, bahkan ribuan tahun yang lampau? Bukankah tulisan memiliki kekuatan yang sangat besar? Atau itu tidak berarti sama sekali bagi Anda?
Apakah Tuan-tuan sedang berkhayal dan menghakimi seorang perempuan muda karena dia tidak pantas digelari pahlawan karena “hanya menulis”? Dan apakah Kartini memang “hanya menulis”? Apakah jika tulisan surat-suratnya itu tidak diterbitkan, apakah lantas Kartini tidak dikenal? Bukankah jika kita tidak menulis para tokoh pahlawan itu, mereka juga tidak akan dikenal?
3. Apakah Anda Tuan-tuan terhormat mengetahui, dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno yang menyatakan:
“Menimbang: bahwa kepada Sdr. Raden Adjeng Kartini almarhumah patut diberi penghargaan oleh Negara, mengingat djasa-djasanja sebagai pemimpin Indonesia dimasa silam, jang semasa hidupnja, karena terdorong rasa tjinta Tanah Air dan Bangsa, memimpin suatu kegiatan jang teratur guna menentang pendjadjahan dibumi Indonesia;”
dan selanjutnya:
“Memutuskan: Menetapkan:
PERTAMA : Sdr. Raden Adjeng Kartini almarhumah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional…. dan seterusnya”
Apakah Tuan-tuan paham dan mengerti arti “Pahlawan Kemerdekaan Nasional”? Semoga. Saya juga belajar memahaminya. Hanya saja muncul pertanyaan: Mengapa Presiden Sukarno tidak menyebut atau menyatakan Kartini sebagai “pahlawan emansipasi perempuan” atau semacamnya? Lantas mengapa banyak pihak kadang begitu emosi dan tidak terima atas penghormatan itu? Atau pihak-pihak itu memang tidak tahu soal surat keputusan tersebut yang memang tidak menyebut Kartini sebagai “pahlawan emansipasi perempuan”? Siapa pihak-pihak yang mengumandangkan seperti anggapan atau pemikiran: “Kartini diangkat sebagai pahlawan emansipasi dan itu tidak tepat dibandingkan dengan perjuangan perempuan-perempuan lain di negeri ini?” Jika orang-orang itu tidak mengerti surat keputusan Presiden Sukarno dan itu yang terjadi, memang betapa naif dan cukup menjengkelkan, siapapun Tuan dan apapun gelar akademis Anda. Bukankah begitu?
Bukankah menyatakan Kartini sebagai pahlawan emansipasi justru mempersempit perannya dalam seluruh perjuangannya? Apakah Anda Tuan-tuan mengetahui bahwa para intelektual perguruan STOVIA menyebut Kartini sebagai “Ayunda Pergerakan” karena memberikan inspirasi dan ide tentang spirit nasionalisme, jauh lebih awal dari gerakan kesadaran dan kebangkitan nasionalisme Budi Utomo tahun 1908 itu?
4. Apakah kisah Kartini adalah sekadar dongeng atau mitos sejarah yang direkayasa? Apakah tulisan-tulisannya adalah palsu? Atau didiktekan secara langsung dari kaum kolonialis-orientalis-kapitalis-antiIslam? Apakah karena dia berkenalan dan berhubungan dengan orang-orang Belanda, itu artinya dia adalah ‘settingan’ Belanda? Cetakan dan bentukan Belanda? Agen gelap penjajah? Apakah karena berkirim antartulisan dengan orang Belanda, secara otomatis dia adalah ciptaan dari skenario penjajah Belanda? Jika karena dia “disponsori” oleh orang-orang Belanda dalam pemikirannya, dan itu disimpulkan sebagai desain Belanda, bagaimana orang-orang Bumiputera yang benar-benar dipsonsori untuk bersekolah dan diberi bea siswa di perguruan tinggi di Belanda oleh pemerintah kolonial Belanda? Apakah mereka adalah boneka-boneka Belanda?
Jika semua logika itu memang benar, apakah Willem Iskander, yang nama lahirnya adalah Sati Nasution dan berubah menjadi Willem Iskander ketika dia pindah dari Islam ke Kristen saat belajar keguruan di Belanda, pelopor guru dan orang pertama yang mendirikan lembaga pendidikan guru bumiputera “Kweekschool voor Inlandsch Onderwijzers” (Sekolah Guru Bumiputera) atau “Kweekschool Tanobato” di tempat kelahirannya Kota Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 1862, adalah antek penjajah Belanda?
Apakah Mohammad Syafei, orang kelahiran Kalimantan Barat, yang sempat sekolah keguruan di Belanda karena diutus oleh bapak angkatnya bernama Marah Sutan dari Padang, dan mendirikan “Indonesische Nederland School” (INS) di Desa Kayutanam, Padangpariaman, Sumatra Barat pada 1926, adalah agen spionase kolonial karena dia didikan Belanda?
Apakah Haji Agus Salim yang mengenyam pendidikan sekolah khusus anak-anak Eropa di “Europeesche Lagere School” (ELS), kemudian dilanjutkan ke “Hoogere Burgerschool” (HBS) di Batavia, bahkan ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda; semua pemikiran dan perjuangannya adalah mewakili kepentingan penjajah Belanda?
Apakah Hj Rangkayo Rasuna Said adalah antek Jepang ketika Beliau mendirikan organisasi Pemuda Nippon Raya di Padang? Apakah Rohana Kudus menjadi sosok wakil suara Belanda, ketika setiap saat oleh ayahnya yang seorang pegawai pemerintah Belanda selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor? Apakah setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada Rohana Kudus, melalui Kementerian Sosial RI nomor 555/3/PB/.05.01/11/2019 tertanggal 7 November 2019, hal itu adalah sebuah keterlambatan fatal? Bagaimana dengan perhatian pemerintah sebelumnya?
Atau, apakah para tentara alumni dari pasukan KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) yang artinya Tentara Kerajaan Hindia Belanda, seperti Urip Sumoharjo dan AH Nasution, adalah tentara Belanda yang menyamar menjadi tentara Indonesia? Apakah 10 (sepuluh) ulama termasuk K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), dll yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela (bukan wajib militer) yang akan mempertahankan Pulau Jawa, dan akhirnya terbentuklah pasukan PETA (Pembela Tanah Air) ciptaan Jepang, adalah para antek Jepang? Apakah Sudirman dan Supriyadi adalah agen khusus pasukan Jepang yang disusupkan di Indonesia?
Apakah para tokoh pergerakan, perjuangan, dan pahlawan, yang pernah belajar dan menjadi alumni sekolah-sekolahBelanda seperti sekolah dasar “Hollandsche Inlandsche School” (HIS), “Europesche Lager School” (ELS), “Hogare Burgerlijke School” (HBS), “Volkschool” (sekolah rakyat) atau “Sekolah Ongko Siji dan Loro”, setingkat SMP “Meer Uitgebreid Lager Onderwijs” (MULO), setingkat SMA “Algemeene Middelbare School” (AMS), atau di “School tot Opleiding van Indische Artsen” (STOVIA) dan sekolah hukum “Recht Hoge School” di Betawi, sekolah pertanian “Landbouw School” di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor (IPB), atau sekolah “Technik Hoge School” di Bandung yang sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB); atau yang kuliah di Universitas Leiden di negeri Belanda; mereka otomatis adalah antek penjajah? Bukankah sebisa mungkin pemerintah kolonial membuat bangsa jajahannya sebagai inlander – pribumi bodoh? Apakah para tokoh itu adalah benar-benar inlander?
Apakah Kartini adalah simbol ciptaan Belanda? Bagaimana dengan ratusan dan bahkan ribuan tokoh hasil resmi dan formal pendidikan Belanda? Bukankah jika demikian, negeri ini –termasuk kita semua yang merupakan cetakan sistem pendidikan Belanda atau Eropa— adalah representasi bangsa dan nalar penjajahan? Setinggi apapun gelar akademis Anda, begitu bahagia dan bangganya sebagai alumni universitas mancanegara? Bukankah begitu Tuan-tuan? Apakah Tuan-tuan mengidap mental inlander?
Apakah karena surat Kartini yang berhubungan dan kagum terhadap Snouck Hugronje itu berarti pemikiran Kartini adalah pemikiran seorang kolonialis-orientalis? Apakah Kartini adalah anak didik Snouck yang dengan diam-diam menggempur Islam dari dalam? Apakah dengan mengetahui jaringan orang-orang yang berkorespondensi dengan Kartini, itu pasti menunjukkan Kartini adalah bagian sindikat dari kejahatan kolonial secara terselubung? Untuk apa Tuan-tuan memuji Kartini ketika protes pada Kiyai Soleh Darat agar Sang Kiyai menerjemahkan al-Quran dalam Bahasa Jawa? Apakah dengan demikian lantas menempatkan Kartini dengan bangganya sebagai santriwati atau juru dakwah seperti para ustadz dan ustadzah di zaman medsos ini?
5. Lantas untuk apa Tuan-tuan membandingkan Kartini dengan Nyi Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, atau Rohana Kudus? Andai nasib Kartini seperti Rohana Kudus yang diberikan rahmat usia panjang (meninggal tahun 1972 dalam umur 87 tahun) dan sempat menikmati udara kemerdekaan, apakah Kartini akan berubah? Apakah tokoh-tokoh perempuan itu juga menginginkan pencitraan untuk diangkat sebagai pahlawan? Apakah demikian? Lebih jauh lagi, untuk apa para generasi saat ini menggunakan nama “Kartini” dalam banyak kepentingan? Apakah Kartini dan keturunannya mengajukan gugatan dan protes tatkala namanya dipakai untuk mencari uang? Atas nama perusahaan, bisnis, lembaga, komunitas, dan berbagai gerakan?
Apakah karena Kartini tidak terlibat perang fisik yang berdarah-darah, tidak membela bangsa dengan mengangkat senjata, tidak mati di tempat pengasingan dengan nestapa, tidak terlibat konflik penuh luka, sehingga tidak layak untuk dihormati sebagai pahlawan nasional? Jika Kartini hidup dalam situasi dan kondisi politik yang setara antara lelaki dan perempuan, seperti 300 (tiga ratus) tahun sebelumnya di saat perempuan bisa menjadi pemimpin / kepala negara dan pemerintahan seperti Ratu Kalinyamat, atau di Aceh di masa Ratu Tajul Alam, atau di situasi politik matrilineal seperti di Minangkabau, dan tidak di Jawa yang harus dipingit dan tunduk di bawah kuasa lelaki, apakah Kartini akan memberontak? Bukankah ratusan bahkan ribuan keluarga ningrat di Jawa beserta perempuannya sekian lama tunduk dalam politik hegemoni lelaki dan para perempuan itu diam serta “nerimo”?
6. Jika Tuan-tuan mempertanyakan, mengapa setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini, bukankah Anda juga berhak memperingati setiap kelahiran dan bahkan hari kematian orang yang Anda anggap luhur dan hebat? Bukankah kita juga boleh mentradisikan hari khaul para ulama? Hari lahir atau hari kematian para tokoh dan siapapun yang kita inginkan? Siapa yang melarang? Apakah peringatan Hari Kartini merupakan bentuk “pengkultusan” Kartini? Sementara posisi perempuan dan kesetaraan gender hingga saat ini masih digemakan dan diperjuangkan dengan sepenuh tenaga? Siapa yang mengklaim bahwa Kartini adalah satu-satunya simbol kemajuan perempuan Indonesia? Kartinikah? Atau saya dan Tuan-tuan yang menciptakan? Atau muncul pertanyaan: mengapa Abendanon memilih Kartini? Bukankah itu sama halnya ketika Tuan-tuan bertanya: mengapa Cut Nyak Din harus melawan Belanda? Mengapa kita tidak bertanya: bagaimana kalau Kartini lahir di Minangkabau dan Rohana Kudus lahir di Jawa? Sebuah pertanyaan yang naif dan antisejarah bukan?
7. Kartini memang bukan pahlawan seperti yang kita inginkan. Lantas siapa yang layak didudukkan menjadi pahlawan? Mohon maaf –dengan segala kecurigaan saya—bisa jadi yang berhasrat ingin menjadi orang hebat, diakui, dikenal, dan dipandang pahlawan tak lain dan tak bukan adalah saya dan Anda, Tuan-tuan. Karena saya yakin sepenuh-penuhnya, Kartini dan para pahlawan itu tidak resah dan galau seperti kita yang berebut pencitraan atau berebut kehebatan agar dianggap “super hero” atau “super woman”. Bukankah begitu? Kemudian, siapakah yang menentukan, bahwa Kartini lebih hebat dari Rohana Kudus atau sebaliknya, Dewi Sartika lebih hebat dari Kartini atau sebaliknya, Cut Nyak Din lebih hebat dari Kartini atau sebaliknya, Martina lebih hebat dari Kartini atau sebaliknya dan seterusnya? Apakah ukuran kehebatan itu? Siapa yang membuatnya?
8. Tapi lebih dari semua itu, Tuan-tuan yang terhormat. Pernahkah Anda membaca surat-surat Kartini? Baik edisi terjemahan Armijn Pane atau edisi terjemahan Bahasa Inggris atau dalam Bahasa Belanda atau karya mutakhir dari Joose Chote yang juga mengungkap surat-surat Kartini yang tidak dipilih oleh Abendanon? Dan kemudian Tuan-tuan merenungkannya ketika saat itu dia mencurahkannya di zaman pergerakan dan pingitan? Atau sekalian membaca riwayat hidup dan pergolakan batinnya? Beranikah Tuan-tuan membaca tulisan dan kisahnya? Ah, yang benar saja. Saya tidak percaya Tuan-tuan punya nyali itu. Hampir sepanjang saya berdialog dan temui dengan orang-orang terhormat ketika membahas Kartini, sebagian besar tidak ada yang berpendapat berdasar dari kumpulan surat itu atau buku tentang Kartini.
9. Pertanyaan terakhir, mengutip ungkapan Paulo Coelho: “ketika Anda mengulangi sebuah kesalahan, itu bukan kesalahan lagi, melainkan sebuah keputusan”, bukankah ini benar?
Sungguh saya berhatur terima kasih atas perkenan Anda Tuan-tuan yang sudi membaca tulisan ini. Allah Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang memberkahi kita selalu. Amin
Kamis, 23 April 2020

No comments: