20 May 2019

Semua orang Butuh Ekstase. Asal Mula Tari Sufi


Suatu saat saya mengikuti acara kenduri syafaat di Pondok Pesantren Nailun Najah Kriyan Kalinyamatan Jepara.

Pada saat Mahalul Qiyam dalam pembacaan albarjanzi tiba-tiba lampu-lampu dipadamkan.
 
Dengan dipadamkan lampu ada rasa yang berbeda ada rasa yang lebih khidmat. Dengan memejamkan mata, sayapun menikmati rasa khidmat ini semakin lama semakin nikmat... ada semacam ektase yang terasa. Tubuhpun rasanya ingin bergerak cuma aku menahan diri untuk tidak menari.

Ketika membuka mata, ternyata beberapa  murid Ponpes Pimpinan Gus Mad ini sudah ektase berputar menari sufi.

Menurut riwayat, munculnya tari sufi merupakan ekstase cinta Sayidina Abu Bakar Assydiq pada Rasulullah.

Alkisah pada jaman Nabi Muhammad, ada seorang pemuda yang rajin ke masjid, tetapi tidak melakukan ritual ibadah seperti yang lain. Lalu Rosul bertanya mengapa ia rajin ke masjid tetapi tidak melakukan ibadah seperti yang lain ?. Lalu pemuda itu menjawab, bahwa ia ke masjid karena Cinta pada rasul. Kemudian ia bertanya pada nabi, apakah Rosul juga mencintainya?. Rosul menjawab bahwa beliau mencintai umatnya. Pemuda itu bertanya lagi, apakah besok di akherat rasul tega meninggalkannya atau bersedia turut membawanya ke surga?. Rosul menjawab bahwa pemuda itu akan bersama orang yang dicintainya.

ilustrasi tari sufi. (sumber pinterest)
Sekonyong-konyong pemuda itu menari sambil berlarian karena gembira. Ketika berpapasan dengan Abu Bakar, ditanyalah ia mengapa demikian gembira sambil menari-nari dan berlarian ? pemuda itu menceritakan bahwa besok di akherat Rosul tidak akan meninggalkannya karena ia mencintai Rosullullah.

Lalu dengan penasaran Abu Bakarpun menemui rasullullah dan menanyakan hal tersebut. Nabi Muhammad menjawab bahwa di surga Abu Bakar akan bersama orang yang dicintainya. Seperti anak kecil yang gembira, seketika Abu Bakar menari berputar sampai terangkat jubahnya. 

Pada saat yang lain, Maulana Jalaludin Rumi begitu sedih karena meninggalnya guru beliau. Rumi melarutkan diri dalam dzikir. Dalam kenikmatan berdzikir dan mencapai ektase, tubuh Rumi bergerak berputar bahkan konon selama tiga hari tiga malam. Dalam perkembangan selanjutnya gerakan tubuh ini menjadi sebuah tarian yang digunakan dalam meditasi aktif.
Sumber : FB Fanspage PP Nailun Najah

Begitulah ektase. Emosi senang, susah, marah, sedih, benci, rindu, cinta dan lain sebagainya yang memuncak membuat kita serasa melayang antara sadar dan tidak. Untuk mencapai ektase dan penyalurannya ternyata banyak cara yang ditempuh. Ada yang berputar menari sema (tari sufi), ada yang berlompatan kecil menari zipin, ada yang geleng-geleng Triping, atau sekedar meliuk-liukkan tubuh berajojing. 

Dalam diri manusia ternyata ada semacam sense yang butuh untuk dicapai dan disalurkan. Dan untuk mencapai ektase Ada yang melakukannya dengan berdzikir, antara sadar dan tidak bergerak berputar, atau minimal sambil duduk bersila tubuh dan kepala bergerak ritmis ke kanan dan ke kiri. Ada pula yang ektase dengan mengkonsumsi ektasi, atau sekedar minum kopi dan merokok sambil goyang-goyangkan badan berajojing atau joget dangdut.

Saya melihat, pemenuhan sen of ...- entah apa namanya saya belum menemukan istilah yang pas-.... sangat penting dipenuhi, ini semacam pelampiasan tekanan psikologis dan dapat digunakan sebagai saluran untuk pelampiasan stress. Minimal setelah melampiaskan stress orang menjadi lebih fresh.

Yang menjadi masalah kemudian apakah cara yang dipilih untuk melampiaskan stress dan mencapai ektase tersebut ?

apakah cukup dengan ngopi merokok sambil goyang dangdut, atau minum minuman keras sehingga setengah sadar dan tidak lalu berajojing, atau ngedruck ngeflay sambil triping, ataukah dengan berdzikir ?




No comments: