- Kecelakaan sejarah itu adalah ketika tahun 1996 aku bergabung dengan Teater di IKIP Semarang (sekarang UNNES) atas saran seorang sahabat Iltizam Kuffa yang mengatakan "Kamu butuh wadah".
- Aku masuk IKIP Semarang tahun 1995 di Jurusan Pendidikan Ekonomi, saya coba cari UKM (unit kegiatan mahasiswa) Teater tapi tidak ketemu.
Mungkin karena aku lebih sering pulang kampung setiap hari kamis sore ketimbang di kampus, padahal tetaer latihan hari minggu, sehingga aku tidak menemukannya. memang saat itu aku tidak pernah minat kuliah, apalagi di IKIP.
- Aku kuliah karena dipaksa orang tua yang ingin anaknya ada yang kuliah.
"di IKIP saja yang murah" kata bapakku.
"Kakakmu sudah batal kuliah karena bapak tak mampu, jadi kamu yang kuliah. biar ada anak bapak yang kuliah"
- Belakangan justru semua anak bapak yang berjumlah 7 orang semua dapat kuliah kecuali kakak pertamaku, jadi yang kuliah 6 orang.
- Di Teater itu Justru teman sekelasku Obaidillah dan Suwinarti lah yang telah bergabung, meskipun tidak bertahan lama, tapi informasi itu tidak sampai saya, karena saya sendiripun tidak koar-koar kalau aku mencari UKM Teater itu.
- Sebelumnya saya memang sudah suka pada kesenian, saya suka menggambar ( tapi jelek) saya juga menyanyi (meski suara jelek), bahkan seni sastra.
- Saya lah satu-satunya peserta laki-laki dalam lomba baca puisi tingkat desa saat masih SD dan saya kalah. Lomba di menangkan fifi seorang anak perempuan yang memang cantik, dan cukup bagus cara baca puisinya.
- Saya pernah ditugasi baca saritilawah saat madrasah diniyah, meskipun tiba-tiba saja yang diundang naik ke atas panggung adalah Atik teman perempuan yang menurut saya sangat jelek cara bacanya.
- Saya juga ikut lomba baca saritilawah dalam rangka pekan madaris saat madrasah diniyah, dan kembali saya dikalahkan oleh fifi dan entah siapa saya lupa. Bagus juga sih cara baca juara ke 2 tersebut, tapi bagiku itu sangat konfensional, dan menurutku saya sdh menyajikan dengan cara yang berbeda. toh saya baru sadar sekarang bahwa lomba kesenian adalah menurut selera juri. Dan selera juri kebayakan memang konfensional.
- Saya satu-satunya siswa yang mau baca puisi saat perpisahan SMA.
- Bagaimana saya tidak menyebut bahwa bergabung dengan teater ini sebuah kecelakaan ?
- aku menjadi begitu mencintai teater, bahkan saat latihan perdana, saya memproklamirkan diri menjadi orang ke 10 di Teater SS bersama dengan Mulyani (ada dua orang ke 10 di Teater SS).
- Kebetulan saat itu Teater SS cuma beranggotakan 9 orang dan semua pengurus.
- Tampaknya itu juga kutukan bagi SS anggotanya yang intens tak lebih dari 9 orang meskipun daftar anggotanya bisa puluhan.
- Entah mengapa nama SS begitu melekat erat dalam hatiku. Nama yang begitu unik, aneh, tidak sangar, sangat sederhana, dan itu Kutukan bagiku.
- Meski teman- teman seniman di Jepara (kota kelahiranku) mengenal aku sebagai pegiat teater, tapi aku bahkan tidak punya komunitas teater di Jepara.
- Teater adalah hidup yang dimampatkan. sehingga ketika kita belajar teater maka
sesungguhnya kita tengah belajar hidup.
begitulah ajaran yang saya peroleh, dan itu pula yang selalu saya ajarkan pada para sahabat sesudah saya.
- Ya di SS lah saya merasa dibesarkan, digodok, dan diolah. di sinilah aku merasa mulai berproses hidup.
- Saya bukanlah orang yang penuh kebahagiaan, tapi di sini lah saya menjadi terbiasa menikmati kesengsaraan.
- Aku terpaksa menjadi disiplin, bahkan tubuhku yang manja dan mudah sakit, mau tak mau harus sehat.
- Aku dipaksa menjadi cerdas dan tegas dalam mengambil keputusan.
- Belajar untuk tidak pernah tergantung pada pertolongan orang lain, meskipun sering aku minta tolong saat kesulitan, tapi aku menjadi tidak bisa merengek untuk mendapat pertolongan.
- Karena ikut teater inilah aku menjadi betah di kampus. meskipun itu tidak berarti juga aku rajin belajar dan berprestasi secara akademik. Aku hanya betah di kampus menikmati suasana proses berteater.
- Dalam setiap latihan yang dilakukan di teater selalu mengandung filosofi tertentu.
- Idealisme saya pun menjadi semakin kuat. Filosofi soal hidup dan kehidupan dari cara pandang teater tertanam dalam benakku, dan itu menjadi racun yang meyebar dalam pola pikirku. Inilah sesungguhnya kutukan itu.
- Setiap melihat sesuatu, aku selalu memandang dengan kacamata filosofi dalam teater.
- Bahkan dalam ketauhidan Tuhan, saya melihat dengan cara pandang Teater.
- Aku memang sempat menjadi selebriti di kampus pada Tahun 1998 saat krisis ekonomi melanda Indonesia.
- Hampir setiap mahasiswa jika ditanya apa dia tahu munip? mereka akan jawab : munip ? yang kriting itu ? anak teater itu ? si Rumah Kardus itu ? oya saya tahu.
- ya "Rumah Kardus" puisi karya kang achyar itu saya baca saat mahasiswa IKIP Semarang mengelar demontrasi untuk pertama kalinya dalam sejarah. itulah yang membuat saya tenar jauh melebihi kang achyar yang menulis puisi itu. Puisi itupun sekarang entah dimana keberadaannya.
- Tahun 2000 aku lulus kuliah. Saat lulus kuliah aku sangat menyesal ikut teater, kenapa tidak ikut Kopma sehingga aku banyak relasi perusahaan untuk dapat aku memperoleh pekerjaan. Atau kenapa aku tidak ikut Pers Mahasiswa agar aku bisa menjadi jurnalis di media, atau bahkan mengapa aku tidak ikut lembaga eksekutif mahasiswa agar aku bisa jadi politisi.
Mengapa aku ikut teater yang orang-orangnya kere....
- Dalam perjalanan waktu Allah memberiku kesempatan bekerja di tempat yang layak dari kacamata status sosial, soal rejeki sih relatif.
- Saya bersyukur pada Allah karena telah diberi kesempatan dapat bekerja di Bandara, Bank Danamon lalu CIMB Niaga pada suatu waktu.
- Bayaran yang kuterima lumayan besar jika dibanding teman-temanku yang jadi guru.
- Entah mengapa Saya berfikir gaji saya tidak sebanding dengan kemampuanku, gajiku menurutku terlalu besar dibanding kemampuanku yang tidak bisa apa-apa soal perbankan. (ini salah satu racun pikiran teater).
- Tapi gaji besar bukan berarti kesejahteraan juga lebih baik, nyatanya aku masih punya banyak hutang.
- Akhirnya aku harus mengalami kegagalan di bank. mungkin orang melihat begitu dramatis.
- Nasib.....
- Terus terang selain faktor X kegagalanku sebagai seorang bankir sesungguhnya lebih karena saya merasa pola pikirku yang teracuni filosofi teater dan tidak bisa mengikuti arus pikiran dunia bisnis perbankan.
- Bagi saya bekerja adalah menghasilkan sebuah karya. sebuah monumen.
- Sedang dalam pola pikir bisnis perbankan yang dicari profit. dan profit dilihat semata-mata angka.
- Banyak orang bilang seorang sales seperti saya adalah aktor tanpa oscar. akting yang digunakan untuk menjerat pembeli.
- Tapi justru karena aku terbiasa akting di atas panggung pentas, aku tidak bisa lagi akting dalam kehidupan sehari-hari.
- nasi telah menjadi bubur....
- show must go on.....
hidup harus terus berlanjut (bajingan ! kembali pola pikir teater muncul)
- lalu mau apalagi selain melanjutkan hidup ?
- pentas harus diteruskan sampai layar tertutup. entah dengan sorakan penonton ataupun cibiran penonton. saya tak peduli. Bahkan tanpa penontonpun akan aku lanjutkan peranku dalan pentas kehidupan ini, karena sesungguhnya pentas bukanlah untuk ditonton tapi untuk menyelesaikan naskah yang sudah discripkan Sang Maha Sutradara di azali.
Meski kata seorang teman bahwa naskahpun bisa diganti sesuai kehendak sutradara atau karena permintaan aktor,tapi bukan berarti kita bisa seenaknya bertingkah. tugas sebagai aktor selain berperan dengan baik, aku juga harus eksplor dan berimprovisasi agar pentas ini menjadi semakin baik. (kakeane, asu ! pikiran teater lagi...)
-Tapi bagaimanapun juga harus aku syukuri aku telah ikut teater. Pelajaran hidup yang sangat berharga kuperoleh jauh sebelum aku diikut sertakan dalam training seven habbit for assosiate oleh CIMB Niaga.
- Pelajaran yang disebarkan oleh Steven Coffi melalui penelitian selama lebih dari 10 tahun, dan dibeli dengan sangat mahal oleh banyak orang sudah aku peroleh sejak lebih dari 15 tahun dari teater.
- Salah satu Habbit terpenting dari seven habbit by steven coffi, adalah berperan dengan baik dalam kehidupan ini.
Dan itulah pelajaran utama dari teater.
Selain itu karena aku sdh punya tempat untuk berekspresi, maka aku tidak merasa perlu lagi selfie dan foto-foto untuk ngeksis.... kasian deh lu para narsisius...
Apakah aku harus meninggalkan Teater ?
TEATER ADALAH HIDUP YANG DIMAMPATKAN, DAN HIDUP ADALAH TEATER YANG SESUNGGUHNYA
No comments:
Post a Comment