Di panggung itu, di atas ayunan itu, As (Ratih Fajarwati), menumpahkan segala keluh kesah hidupnya. Dia mengumpati Is, perempuan yang dituduhnya telah merebut cinta Sis, lelaki pujaan hatinya. Pada kali lain, menyumpahi Sis, yang disebutnya tak lebih dari Don Juan picisan.
’’Kukira, tadinya aku mampu menyimpan semua rahasia, sanggup menahan semua yang kurasa. Nyatanya tidak. Aku tidak sanggup lagi,’’ tuturnya.
Kisah pedih As itu, merupakan bagian dari monolog Dua Cinta, yang dimainkan Teater SS Universitas Negeri Semarang (Unnes), di Gedung B6, kampus Sekaran, Gunungpati, Minggu (30/5). Ratih Fajarwati, aktris Teater SS, mementaskan monolog karya N Riantiarno itu dalam rangkaian Seleksi Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) Jawa Tengah, yang dituanrumahi Unnes.
Sebagai anak kecil, As bermain ayunan. Dia berbicara seperti pada Is, yang seolah-olah ada di hadapannya. ’’Tadinya, kukira cerita tentang aku dan Sis akan kubawa mati sehingga tidak ada yang tahu, kecuali aku dan Sis. Tapi, Is, kamu sudah memaksaku,’’ tuturnya.
Maka, meluncurlah haru-biru percintaan As dan Sis, yang telah menjerumuskan As pada profesi paling purba: pelacur. Haru-biru itu bertambah-tambah, dengan tudingan bahwa Is telah menjadi orang ketiga, yang memalingkan cinta Sis pada As.
Ayunan, satu-satunya elemen artistik di panggung yang dimainkan Ratih nyaris sepanjang pertunjukan, seperti menjadi simbol ayunan cinta di antara nama-nama yang berloncatan dari mulut As. Di sisi lain, ayunan itu menjadi representasi kehidupan As yang diayun-ayun nasib.
Banyak Lubang
Secara umum, lakon yang penggarapan disupervisi oleh Abdi Munif (Jepara) memang tak terlampau mengecewakan. Setidaknya, pesan lakon berdurasi sekitar 30 menit itu cukup bisa ditangkap sebagian besar penonton.
Walaupun, kalau dicermati lebih serius, pementasan itu—harus diakui—meyisakan cukup banyak lubang menganga. Yang, bagi saya, cukup mengganggu.
Penampilan Ratih sebagai peraga tunggal, masih jauh dari ekspektasi penonton. Kualitas vokal, baik kelantangan maupun bidikan artikulasi, perlu dipoles lebih jauh.
Apalagi, jarak panggung dan penonton yang relatif jauh, membuat vokal Ratih tak terlampau bisa ditangkap. Bahkan, kadang-kadang, tenggelam oleh musik ilustrasi yang kelebihan volume.
Keberanian, untuk tidak menyebut kenekatan, menggunakan setting minimalis berbuah blunder berupa kekosongan di beberapa adegan. Ruang panggung terasa, setidaknya bagi saya, terlalu lapang karena tidak tereksplorasi secara maksimal. Kalau mau diperpanjang lagi, musik ilustrasi dan tata cahaya juga tidak selalu hadir tepat waktu. Pada beberapa adegan, justru elemen yang seharusnya menjadi penunjang itu malahan menjelma tabir yang menenggelamkan.
Tapi, sudahlah, lepas dari tetek-bengek teknis itu, Dua Cinta cukup menjadi tontonan. Ratih, dan juga para pegiat Teater SS, pastilah masih memiliki masa depan panjang untuk mengeksplorasi dan menebus kekurangan-kekurangan itu. (87)
• Oleh Achiar M Permana
No comments:
Post a Comment