15 June 2015

BAB II MENGELOLA BISNIS



A.      ALON-ALON WATON KELAKON (ngapain beli Nxxxx, mending GL Pro saja)

lanjutan rangkaian tulisan ngupoyo upo coro jowo
Dunia bisnis sering diibaratkan seperti  Balapan.  Dalam balap motor, mobil, atau mungkin dalam balapan yang lain, Seorang pembalap harus memiliki mental yang kuat. Siap menerima resiko yang mungkin terjadi.
Selain itu pembalap harus mempunyai kemampuan koordinasi yang cepat antara mata yang melihat track, otak yang berfikir dan mengambil keputusan, serta tangan, kaki, serta tubuh untuk melaksanakan perintah otak.
Selain itu telinga harus terus mendengarkan arahan strategi balap dari tim di pitstop. Dalam rally pembalap terus saja mendengar pembacaan peta jalur balapan oleh navigator. Tapi bagaimanapun keputusan tetap ada di pembalap. Kapan harus ngegas, pindah gigi, ngerem, ambil jalur luar atau jalur dalam, kapan ganti ban atau bahkan berapa liter bahan bakar yang akan diisikan dan keputusan-keputusan lain. Tentu saja disertai kemampuan teknis dari sang pembalap untuk mencapai kemenangan.
Saking hebatnya sang pembalap keputusan-keputusan itu begitu cepat dieksekusi, seolah mengalir begitu saja. Respon yang dilakukan pembalap atas segala situasi balapan sudah menjadi habbit sampai menjadi reflek,
Demikian juga dalam bisnis. Situasi demikian cepat berubah. Perubahan-perubahan itu seperti yang dapat kita lihat dalam pergerakan harga saham di pasar modal, kurs Valas di pasar uang, harga komoditi di pasar komoditi yang bergerak terus dari detik-ke detik. Untuk itu diperlukan kecepatan pengambilan keputusan bisnis.
Beli, jual atau timbun sebuah produk? Bikin sendiri, atau pesan ke pihak lain, sebagai kontraktor, atau sub kon? Impor atau bikin pabrik dan diproduksi dalam negeri? Naikkan atau turunkan bunga bank ? reject atau approve aplikasi kredit?
Begitulah antara lain pilihan keputusan-keputusan bisnis yang harus diambil.
Keputusan yang terlambat diambil, bisa membuat kehilangan peluang mendapat keuntungan. Peluang bisa diambil oleh pesaing.
Dalam kondisi yang dituntut serba cepat, di jawa justru masih berkembang unen-unen, “ojo ngoyo, alon-alon waton kelakon”
“Tidak usah terlalu bernafsu, pelan saja asal nyampai”
Sangat tidak cocok jika diterapkan di dunia modern seperti sekarang. Apalagi untuk bisnis.
“kapan nyampainya ?! ini Jakarta bung!” banyak orang akan bilang seperti itu.
Balapan itu, begitu melihat celah untuk mendahului pembalap didepannya ya masuk. Kalau sudah di depan ya pacu terus, kalau perlu overlapping semua pembalap untuk sampai garis finish dahulu.
Tapi orang jawa akan jawab, “ Paling selisih berapa menit sih? Iyo kalau slamet, lha kalau nyungsep?
Aryton senna, juara balapan jet darat (F1) mati kecelakaan di lintasan balap.  Micheal Schumaker, celaka justru di arena ski. Mereka orang-orang hebat yang terbiasa berada dalam situasi serba cepat. Mata melihat lintasan, telinga mendengar arahan, melaporkan bersama-sama ke otak, otak memproses dengan kecepatan sepersekian detik untuk mengambil keputusan dan member perintah kepada tangan, kaki. Tangan, kaki dengan kecepatan tinggi pula mengeksekusi perintah otak tersebut untuk tancap gas, tangan memutar kemudi untuk bermanuver.
Tapi bagaimanapun ada situasi yang berada diluar kemampuan kita untuk dapat kita kendalikan. Itulah yang membuat kita celaka.
Dengan berjalan  “sakmadyo” ora “ngoyo” kita justru akan dapat mengendalikan situasi internal kita, menyesuaikan situasi sekitar. Sehingga bisa menghindari resiko-resiko  terperkirakan yang mungkin terjadi.
Di Indonesia aturan berkendara maksimal berkecepatan 80 km/jam. Saya pernah ditilang saat naik motor di semarang. Karena polisi melihat dari jauh motor saya tidak ada speedometernya. Tanpa speedometer maka pasti pengendara tidak tahu berapa kecepatan kendaraan dia, pasti dia melanggar aturan kecepatan, bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Begitulah alas an yang digunakan oleh polisi untuk menilang. Saya tidak bisa berkutik ketika ditunjukkan aturan berlalu lintas yang mengharuskan ada alat pengukur kecepatan. (tapi masalah berfungsi atau tidak alat itu tidak diatur, yang penting ada).
Karena aturan itu, percuma kita beli kendaraan yang mampu berjalan 200 km/jam. (ngapain beli Nxxxx, mending GL Pro saja)
Dalam balapan, ketika melihat celah, pun tidak serta merta kita langsung masuk. Kita harus melihat lebih jauh kedepan. Bagaimana situasi track didepan, mungkin ndak kita mendahului. Bagaimana kekuatan mesin kita ? masih mampu dipacu lebih kencang ndak? Dan lain-lain. Balapanpun tidak ngoyo. Tidak melulu menuruti nafsu untuk menang. Kalau balapan liar sih isinya nafsu tok ! ingat dalam bercinta saja, kalau terlalu bernafsu bisa cepat loyo tho ?
Lho kok malah bercinta yang dibahas.
Dalam perdagangan di pasar Maya (pasar modal, pasar uang, pasar komoditi-nggak jelas terlihat  wujud barang yang diperjual belikan, hanya tulisan) sering kita dengar istilah “wait and see”. Ini menunjukkan bahwa dalam bisnispun kita juga harus bisa ngerem! Tahan nafsu, Lihat situasi, kapan masuk, atau justru keluar.
Dengan alon-alon waton kelakon, kita akan lebih luas memandang situasi jalan bisnis kita. Kita dapat lebih cermat, lebih detil melihat situasi sehingga keputusan yang diambilpun bisa menghindari lebih banyak resiko. Kalaupun resiko itu menimpa, kitapun sudah siap. Yang terpenting tujuan bisnis memperolah keuntungan dapat tercapai. Bukankan pembalap saja masih dibantu instruksi dari pitstop untuk dapat mengetahui situasi track dan mencapai garis finish?
Jadi alon saja waton kelakon.  Cukup GL Pro ndak harus Nxxxx !

No comments: